Berakhirnya Camino: sebuah renungan *

Rasanya sudah lama, padahal hanya empat minggu yang lalu sejak kami masuk kota Santiago de Compostela, setelah berjalan kaki 1400 kilometer dari kota Le Puy di Perancis. Suatu jarak yang kurang-lebih sama dengan jarak antara Bandar Lampung sampai ke Denpasar, atau Gorontalo ke Makassar.

Selama perjalanan yang makan waktu 82 hari itu, dengan membawa ransel berisi semua bekal, kami melintasi daerah pertanian Perancis dan Spanyol yang luar biasa indah. Pada musim gugur ini di Eropah kami mengalami segala macam cuaca. Dari panas terik 30 derajat Celsius pada awal perjalanan sampai pada salju siang hari pada bagian akhir.

Bagi saya hari yang paling mengesankan barangkali hari ke-72, ketika mendaki Monte Irago (1530 meter di atas permukaan laut). Di atasnya, terletak Salib Besi (atau Cruz de Ferro), sebuah salib kecil terbuat dari besi terpasang di atas sebuah tiang kayu yang panjang, seakan-akan salib berlayang di angkasa. Tempat inilah yang paling tinggi di Camino Perancis. Pada hari kami lewat Salib Besi ini pemandangan magis jadinya, dengan salju menurun sunyi, menyelimuti hutan di sekitar dengan putih bersih.

Juga yang tak terlupakan adalah dua hari melintasi pergunungan Pyrenees pada perbatasan Perancis-Spanyol, mendaki dari ketinggian 200 meter sampai di atas 1400 meter, kami mengikuti sederetan peziarah satu-satu, dua-dua, yang mendahului kami. Di lereng gunung yang tercukur habis, dititiki domba, sekali-sekali kuda, dengan pemandangan jauh sampai ke ufuk. Rasanya seperti berjalan di atap dunia!

Berjalan kaki sekitar 20 sampai 25 kilometer tiap-tiap hari memerlukan suatu ketekadan hati, tetapi rasanya setiap hari badan kami menjadi makin kuat dan makin sehat. Tidak pernah saya merasa sesehat itu, walaupun setiap sore capek sekali sesaat mencapai tempat penginapan pada ujung jalan.

Hanya satu kali kami sakit, ketika kawan seperjalanan kena virus di daerah kering tak berpohon bernama ‘Meseta’. Sumber air dan tempat istirahat jarang, dan Camino merupakan jalan setapak yang lurus tak berbelok berjam-jam, membelah padang rumput kering.  Ternyata, tidak hanya kami yang kena sakit disana. Kawanan peziarah Camino sering kena penyakit maupun wabah di daerah tersebut, walaupun sebabnya tidak diketahui dengan jelas. Untung, setelah istirahat beberapa hari, kami siap mulai berjalan lagi.

Yang paling membekas dalam ingatan saya dari pengalaman Camino, antara lain, orang baik yang kami ketemu. Wanita Catalan dari Barcelona yang bangga akan gerakan kemerdekaan daerah tsb, yang mau lepas dari negara Spanyol. Pengusaha Perancis yang setengah baya tapi atletis dan suka bergaul, yang menghibur kami dengan ngobrolan dan cerita selama berhari-hari, dan ikut meriahkan hari ulang tahun saya di Navarrenx.

Aktor cantik dari Swedia yang berCamino guna mempertimbangkan apakah tetap mengikuti karir dalam filem dan pentas, ataupun kembali ke universitas supaya bisa mengajar dan meneliti. Pemuda campuran Jerman-Itali yang patah hati karena gagal cintanya. Pemudi asal Meksiko yang dibesarkan di Jerman, dan baru tamat universitas, ingin memilih jalan hidupnya.

Bapak pensiunan Korea Selatan yang berdiri di atas bukit Alto de Perdon (Puncak Pengampunan) menikmati pemandangan yang luar biasa cantik sambil menyanyikan spontan lagu Kristen ‘How Great Thou Art’ (“Bila Kulihat Bintang Gemerlap”) dalam Bahasa Korea, merangsang saya spontan juga menemaninya menyanyi walaupun saya dalam Bahasa Inggris.

Perempuan kegemukan Australia yang menghadapi berbagai tantangan psikologis sehingga mempergunakan kesempatan berkesendirian pada Camino untuk merenungkan perubahaan yang harus dibuatnya dalam kehidupan agar dapat sehat mental kembali.

Tua-muda, laki-perempuan, atletis maupun kurang sehat, beragama maupun yang tidak beragama. Yang ikut berCamino macam-macam. Tetapi selama berCamino, kebanyakan mereka memeluk etos yang sama: saling membantu, saling menghormati, tidak menghakimi mereka yang berbeda sikap. Sikap toleran dan baik hati satu sama yang lain sangat menyolok.

Barangkali setiap orang yang memutuskan berjalan kaki ratusan kilometer menyadari bahwa mereka saling bergantung kepada kebaikan orang yang seperjalanannya, sehingga mereka melihat persamaan yang mempersatukan mereka, bukan perbedaan yang membaginya.

Secara pribadi banyak hikmah yang saya petik dari pengalaman Camino. Walaupun sudah cukup lanjut umur, saya masih kuat berjalan jauh dengan ransel. Keperluan pokok saya tidak harus banyak. Semuanya masuk ransel, yang beratnya tidak lebih 10 kilogram. Makanan dibeli di pinggir jalan. Penginapan ada di hampir setiap desa atau kota. Cukuplah asal ada air minum yang dapat diperoleh dari kran umum di pinggir jalan.

Selama tiga bulan, enak hidup sebagai peziarah, idealis yang tidak harus pusing dengan persoalan biasa sehari-hari. Tinggal jalan, makan, tidur. Besoknya berulang lagi. Jalan, makan, tidur. Lambat-laun, kilometer-kilometer lewat dan tujuan pada ujung jalan mulai mendekat, perlahan-lahan. Waktu berjalan kita dapat berpikir, merenungkan hal-hal yang betul-betul penting dalam hidup kita, tanpa dikelimuti oleh seribu-satu masalah kecil. Siapa kita? Apa yang kita percayai? Apa masa depan kita?

Kenapa orang ingin berCamino? Persamaan apa yang mengikatkan mereka dalam usaha ziarah yang pada saat yang sama, kolektif maupun sangat individu?

Barangkali satu-satunya persamaan di antara masyarakat peziarah Camino adalah mereka cenderung berhati lapang akan tantangan dan pengalaman baru yang merangsang mereka merenungkan kehidupan.

Yang jelas, bagi saya pribadi tiga bulan buat melepaskan pikiran-pikiran saya melayang seperti meditasi sambil berjalan melalui pemandangan yang aduhai merupakan suatu kenikmatan yang luar biasa! Ketagihan!

img_20181016_103025

*Kontribusi dari Pak David

Apa itu, Ziarah?

This is a special contribution from Walking Buddy, aka ‘Pak David’ in Indonesian.

Kontribusi khusus dari David Hill dalam Bahasa Indonesia

img_20181022_125140

Sebagian besar, kalau bukan semua, agama bertradisi ziarah. Dalam agama Islam misalnya, melakukan Haj ke tempat-tempat yang dianggap paling suci merupakan suatu kewajiban bagi setiap penganut yang mampu. Dilakukan bersama, selama lima/enam hari. Pada tahun lalu sekitar 2,5 juta orang Islam melakukannya.

Ada tradisi yang lebih lama dalam agama Hindu di India untuk melakukan ziarah ke tempat-tempat yang dianggap berkeramat, karena melakukannya dapat membersihkan sukma diri.

Dalam agama lain, seperti Kristen Katholik misalnya, ziarah merupakan suatu pilihan yang diambil untuk mensucikan diri dari dosa ataupun memperkuat doa kepada Yang Maha Esa bagi suatu permintaan atau berkah.

Yang menjadi unsur bersama dalam kepercayaan agama-agama yang memeluk konsep ziarah adalah penganutnya menganggap tempat-tempat tertentu merupakan sumber kekuatan spiritual, yang menarik penganutnya mengunjunginya, kadang-kadang melintasi jarak yang sangat jauh.

Saya lahir dan dibesarkan sebagai orang Kristen Protestan, yang tidak bertradisi ziarah. Bagi saya, tempat-tempat historis yang berkaitan dengan agama Kristen tidak sepenting struktur kepercayaan ibadah, yang mengikat penganut dengan Tuhannya.

Saya belum pernah tertarik mengunjungi Tanah Suci, misalnya, ke kota Bethlahem, untuk mencari tempat Yesus Kristus lahir, ataupun ke tempatNya disalibkan. Mungkin saya bukan orang Kristen yang baik tetapi, bagi saya, ibadah saya tidak memerlukan adanya tempat fisik sebagai tempat asal kepercayaan agama itu.

Namun, beberapa tahun yang lalu, saya menyaksikan fenomena ziarah — ataupun perjalanan spiritual berjarak jauh — dari perspektif baru. Bukan dari dalam agamanya, tetapi dalam konteks lingkungan sosial dan spiritual.

Camino de Santiago

Ziarah yang berakhir di katedral bersejarah di kota Santiago de Compostela di sebelah barat laut Spanyol terkenal sebagai ‘The Way of St James (dalam bahasa Inggris), Camino de Santiago (dalam bahasa Spanyol), ataupun Chemin de Saint Jacques (dalam bahasa Perancis). Sudah ratusan tahun, peziarah telah menuju ke tempat yang dianggap makam Santo Yakobus.

Dasar historis adanya peninggalan Santo Yakobus disana boleh dikatakan, secara diplomatis, ‘sangat tipis’ — ya, terus terang, mustahil. Cerita yang mengaitkan Santo Yakobus dengan sebuah makam di dalam Katedral Santiago de Compostela lebih merupakan khayalan daripada fakta. Tetapi, dalam agama ‘fakta’ tidak sekuat kepercayaan. Dimotori kepercayaan yang kuat, sebuah tradisi berjalan kaki ke kota Santiago untuk berdoa di depan makam Santo Yakobus berkembang dan bertahan dari abad ke abad, sampai sekarang.

Secara tradisional, peziarah akan mengunjungi setiap gereja, katedral ataupun peninggalan agama dalam rute mereka, dengan harapan bahwa dosa mereka akan dimaafkan, dan ibadah mereka akan diperkuat. Untuk mendukung peziarah, telah muncul serangkaian penginapan ataupun losmen yang khusus bagi mereka, dengan harga murah ataupun kadang-kadang dibayar dengan sumbangan seadaanya saja.

Bagaimana mengukur popularitas ziarah Camino?

Pada bulan Agustus yang baru lalu, misalnya, lebih dari 60,000 peziarah tiba di Santiago, separuh-separuh laki-laki dan perempuan. Ketika ditanya apa motivasinya, sekitar 45% menyatakan karena agama saja, 45% yang lain mengatakan karena faktor agama dan budaya, sedangkan sisanya 10% karena budaya saja.

Syarat minimum bagi mereka yang ingin dianggap ‘peziarah’ (atau ‘peregrino’ dalam bahasa Spanyol), yang ditentukan oleh ‘Kantor Peziarah’ resmi di Santiago, ialah harus berjalan kaki paling sedikit 100 kilometer ke Santiago (atau bagi mereka yang naik sepeda, 200 km). Tetapi sejumlah besar peziarah berjalan kaki jauh lebih banyak. Ada yang berjalan dari rumahnya, bahkan dari setiap negara di Eropa, yang jaraknya beratus-ratus, kadang-kadang di atas beberapa ribu, kilometer!

Bulan Agustus itu, bahkan terhitung sesorang yang berjalan kaki dari Mesir!

Daya tarik Camino de Santiago ini kelihatan dari kenaikan dalam jumlah orang yang melakukannya, serta keanekaragaman bangsa yang ikut serta.

Terhitung oleh Kantor Peziarah di Santiago, pada tahun 2004, 179,944 peziarah sampai ke kota Santiago. Diantaranya ada 480 warganegara Australia. Jangan heran kalau tercatat juga dua orang dari Indonesia! Empat tahun kemudian, saya melakukan Camino saya yang pertama. Jaraknya hanya sekitar 120 kms, yang makan waktu sekitar satu minggu.

Sangat terasa peningkatan popularitas berjalan kaki ke Santiago ketika saya melakukan Camino yang kedua, dari pembatasan Perancis-Spanyol di sebuah kota kecil bernama St-Jean Pied de Port, yang jaraknya sekitar 800 kilometer, dan makan waktu sekitar 40 hari.

Pada tahun 2016, ketika saya melakukan Camino lagi, kali ini dari kota Lisboa di Portugal yang jaraknya sekitar 650 kilometer, jumlah peziarah total di Santiago sudah naik menjadi 277,854.

Dibandingkan dengan duabelas tahun sebelumnya, orang Australia telah naik hampir sepuluh kali lipat menjadi 4,441 orang, sedang yang sangat menonjol kenaikan peserta dari Indonesia, yang telah menjadi 53 orang.

Yang jelas, Camino de Santiago sangat internasional dan multinasional. Selain juga tidak terbatas pada hanya mereka yang beragama Katholik. Diterima juga mereka yang beragama apapun, maupun yang tidak beragama tapi suka berjalan kaki jarak jauh!

Pertengahan bulan Agustus, saya telah mulai sebuah Camino yang baru. Dari kota Le Puy dekat Lyon di Perancis, saya mulai berjalan kaki, mengikuti trayek yang bernama Latin ‘Via Podiensis’, ataupun dalam bahasa Perancis ‘Chemin de St Jacques voie Le Puy’ menuju Spanyol. Sekitar 40 hari kemudian saya sampai di St Jean Pied de Port pada pembatasan Perancis-Spanyol, sekitar 750 kilometer. Santiago masih 800 kilometer lagi di seberang Pegunungan Pyrenees yang membagi Perancis dari Spanyol.

Proses berziarah jalan kaki jarak jauh merupakan suatu kegiatan yang menarik berbagai macam orang dengan berbagai motivasi. Menurut kesan saya, kebanyakan bukan orang yang jelas-jelas bermotivasi agama. Mereka memilih perjalanan kaki ini sebagai suatu kesempatan menantang diri melakukan sesuatu yang ekstrim, yang memerlukan disiplin, ketekadan hati dan kekuatan fisik. Mereka berjalan kaki setiap hari sekitar 20 kilometer. Sebuah petualangan. Sebuah olahraga. Tetapi sekalian juga suatu kesempatan untuk bercermin pada dirinya, merenungkan kehidupan mereka sehari-hari.

Terasa banyak yang saya ketemu melakukan ziarah ini pada saat-saat mereka harus mengambil keputusan besar mengenai diri mereka. Misalnya, orang yang baru pension, yang harus mencari arah baru bagi sisa hidupnya, ataupun mahasiswa yang baru tamat yang ingin memilih langkah berikut dalam kehidupan karirnya.

Tetapi ada juga yang mencari makna spiritual ataupun suatu berkah. Orang yang sakit yang mencari sembuh. Ataupun orang yang baru sembuh dari suatu penyakit yang melakukan ziarah untuk ‘berterima kasih kepada Yang Maha Esa’ ataupun sebagai suatu ungkapan kegembiraan mereka atas sembuhnya itu.

Di Perancis, ternyata banyak kelompok teman sebaya, yang mengisi liburan mereka seminggu-dua minggu setiap tahun dengan berjalan kaki bersama.

Yang jelas, setiap orang yang melakukannya mempunyai motivasi sendiri-sendiri. Ziarah Camino bukan seuatu yang baku, melainkan suatu kesempatan untuk mencari makna bagi setiap orang yang melakukannya.